Blog Ahmad Budi Sulistyo bin Poernomo

OBROLAN DI SUATU LUNCH BREAK

Di sela-sela aneka obrolan yang simpang siur pada saat istirahat makan siang (lunch break) di sebuah meeting rutine dari suatu perusahaan, tiba-tiba salah seorang dari mereka nyeletuk, : ” hey lu, coba jawab pertanyaan ini, hidup itu untuk makan atau makan untuk hidup ?” Riuhlah mereka menjawab pertanyaan tadi, ada yang mengatakan hidup untuk makan, dan ada yang mengatakan makan untuk  hidup. Masing-masing dengan segala argumentasinya.

Saya, yang ketika itu berada di antara mereka tidak berminat untuk ikutan mengutarakan pendapat. Karena saya yakin tidak akan “nyambung” dan sia-sia dalam keadaan yang demikian itu. Karena dasar bertolak pemikiran dari mereka dengan kita jelas-jelas berbeda, berdasarkan keyakinan keimanan kita yang tidak sama.

Lontaran pertanyaan dan suasana obrolan saat itu membuat saya merenung, mengenangkan betapa beruntungnya kita yang telah ditakdirkan Allah memeluk agama Islam. Karena dalam Islam, kita telah diberi tuntunan dengan lengkap dalam seluruh aspek kehidupan, yang membimbing manusia kepada kebahagiaan dan keselamatan dunia akhirat. Islam adalah agama yang sempurna dan satu-satunya agama diridhai Allah Ta’ala, sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam surat Al Maidah ayat 3 dan Ali Imran ayat  19 : 

…. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. ….(Q.S.Al Maidah :3)

Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. (Q.S.Ali Imran : 19)

Dengan Islam kita tahu tujuan hidup. Menempuh perjalanan hidup jadi tidak ngawur.

Saya berfikir, kalau “makan untuk hidup”, tak ubahnya dengan hewan-hewan di rimba belantara, yang untuk mempertahankan eksistensinya, apa saja dilakukan. Kalau perlu mereka berkelahi sesamanya untuk memperebutkan sepotong bangkai, atau berebut betina yang akan dikawininya. Sedang kalau “hidup untuk makan” berarti memasuki paham hedonisme, hidup untuk mencari kepuasan lahiriah semata.

Oleh karena itu, coba kita renungkan dan kenangkan, betapa Allah telah berbuat baik pada kita makhluk-Nya yang bernama manusia ini. Dia telah menciptakan manusia dalam sebaik-baik ciptaan. Dimuliakan-Nya pula anak  Adam, dan dilebihkan-Nya manusia dari makhluk-makhluk yang lain. Firman-Nya : 

sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (Q.S.At Tiin : 4) 

Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.(Q.S.Al Israa : 70)

 Dan segala yang ada di bumi disediakan untuk manusia, 

Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu (Q.S.Al Baqarah : 29)

Alhamdulillah, kita diberi-Nya hidayah, Hidup dalam cahaya Islam. Betapa mahalnya nilai hidayah, karena tidak sembarang orang diberi hidayah oleh Allah Ta’ala. Firman-Nya : 

Itulah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan. (Q.S.Al An’aam : 88) 

Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman. (Q.S.Al -An’aam : 125) 

Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang yang merugi. (Q.S.Al A’raaf : 178). 

Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.( Q.S. Az Zumar -22).

Kalau Allah Ta’ala tidak menghendaki, seorang yang sangat dekat dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang sangat mencintai beliau dan beliau cinta serta hormat kepadanya, yakni pamannya Abi Thalib, hingga akhir hayatnya tidak juga mendapat hidayah dan meninggal dalam keadaan tidak besyahadat. Ada juga contoh yang lain yang diceritakan dalam Al Qur-an , yakni isteri Nabi Nuh dan Nabi Luth (Q.S.At Tahrim : 10).

Sebaliknya, jika Allah menghendaki, seorang yang sangat dekat dengan Fir’aun, sesombong-sombongnya manusia, yang bahkan menyatakan bahwa dirinya adalah tuhan yang harus disembah, diberi-Nya hidayah dalam keimanan yang teguh, orang itu adalah isteri dari Fir’aun sendiri. Bahkan doanya diabadikan Allah dalam Al Qur-an surat at Tahrim 11: Dan Allah membuat isteri Fir`aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: “Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir`aun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim”,

Orang yang tidak mendapat  hidayah akan senantiasa hidup dalam kegelapan dan kerugian. Hidupnya menderita dalam kekafiran, ia sengsara dan hatinya tidak tenteram. Serta siksa abadi di akhirat telah menantinya, (Q.S. Ali Imran : 91, Q.S. Al Maidah : 36-37). Mereka tidak tahu untuk apa dan kemana tujuan hidup ini. Kalau ditanya apa tujuan hidupnya mungkin akan mengatakan mencari kebahagiaan.

Akan tetapi kalau diteruskan pertanyaannya, apa yang dimaksud dengan kebahagiaan itu. Jawabnya mungkin berbeda-beda. Ada yang mengatakan, kalau banyak harta, kalau tenar, kalau disanjung banyak orang dan lain sebagainya. Tetapi apakah benar itu yang dinamakan bahagia? Berapa banyak orang yang padanya terkumpul : kekayaan, kecantikan, ketenaran, kedudukan tinggi, tetapi hidupnya merasa gersang, tidak tenang, tidak tenteram. Siapa yang yang tidak kenal Lady Diana, Jackeline Kennedy lalu menjadi Jackeline Onassis, Christine Onassis ? Tentu hampir semua orang tahu kisahnya.

Allah Ta’ala menunjuki hamba-Nya dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang melalui Rasulnya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Untuk itu kewajiban kita adalah mengikuti, meneladani dan mentaati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam segala perilaku kehidupan kita.

Allah Ta’ala menyatakan bahwa Dia telah memberikan karunia yang besar dengan diutusnya Nabi dan Rasul-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (Q.S.Ali Imran 164)

Karenanya, sudah sepantasnya kita bersyukur atas ni’mat Allah yang tak terhingga banyaknya. Jika ada seorang tidak melaksanakan kewajibannya kepada seseorang yang telah memberikan sesuatu yang sangat berharga baginya, maka orang tadi adalah orang yang tidak tahu berterima kasih. Demikian juga jika manusia tidak melaksanakan kewajibannya kepada Allah Ta’ala, maka dia adalah manusia yang paling tidak tahu berterima kasih. 

Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (ni`mat) -Ku.(Q.S.Al Baqarah : 152)

Bukti dari bersyukur kita pada Allah Ta’ala atas segala karunia nikmat yang tak terhingga itu, terutama dengan diberinya kita petunjuk ke dalam Islam, adalah dengan beribadah hanya kepada Allah Ta’ala secara ikhlas, mentauhidkan Allah, menjauhkan segala bentuk kesyirikan, ittiba’ (mengikuti) Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta taat kepada Allah dan Rasulnya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang dengan itu kita menjadi muslim yang benar. 

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. (Q.S.A; Bayyinah : 5)

Oleh karena itu, agar menjadi muslim yang benar, kita harus menuntut ilmu syar’i. Cara untuk mendapat hidayah dan mensyukuri nikmat Allah Ta’ala adalah hanya dengan menuntut ilmu syar’i. Menuntut ilmu merupakan jalan yang lurus (ash-Shirathal Mustaqim) untuk memahami antara yang haq dan yang bathil, antara yang ma’ruf dan yang mungkar, antara yang bermanfaat dan yang mudharat (membahayakan). Dan menuntut ilmu akan membawa kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.

Seorang muslim tidaklah cukup hanya dengan menyatakan keislamannya tanpa memahami dan mengamalkannya. Pernyataannya itu haruslah dibuktikan dengan melaksanakan konsekwensi dari Islam. Dan, hidayah yang telah Allah anugerahkan pada kita, haruslah dipertahankan dengan usaha dan doa. Jangan biarkan ia lepas. Karena iman itu dapat menaik dan dapat menurun. Meningkat ditandai dengan meningkatnya amal, menurun ditandai dengan meningkatnya maksiat. Menurunnya iman bisa menyebabkan tercabutnya hidayah dari diri kita.

Karenanya kita berdoa kepada Allah Ta’ala agar jangan jadikan hati kita condong kepada kesesatan setelah diberi-Nya petunjuk, sebagaimana redaksi doa yang Allah tuntunkan pada kita , yaitu : 

(Mereka berdo`a): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).” (Q.S.Ali Imran : 8).

Sumber bacaan : Prinsip Dasar Agama Islam, oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas.

September 9, 2008 - Posted by | Uncategorized

Belum ada komentar.

Tinggalkan komentar